Minggu, Juni 05, 2011

Ayo di bedah sama-sama

Naysila Larasati

Putri anggun bertuturkan lemah lembut terlahir dari golongan keluarga keraton. Darah biru biasanya orang- orang menyebutnya. Bermartabat tinggi kasta ksatria.

Naysila Larasati

Gadis ayu berusia dua puluh tiga tahunan berkepribadian sopan, membuat silau setiap mata memandang. Menjadikan orang yang berpaling melirik akan pekertinya. Pekikanya merdu, menjadikan seluruh kepala menunduk padanya. Bak seruan terompet perang, seluruh prajurit berbaris rapi, tegap mendengar perintah.

Naysila Larasati

Tidak pernah sombong meskipun ia terlahir dari keluarga ksatria. Jiwa sosialnya menjadikannya ringan tangan untuk membantu setiap orang yang lemah. Ia tak pernah memandang arti sebuah kasta. Hidup santun saling menolong adalah jiwanya. Ringan tanggan dermawan adalah budinya.
            Sore itu,suasana tak begitu indah. Awan hitam menggumpal mengepung seluruh penjuru desa. Udarapun amat pengap, memancing butiran kristal keringat dari setiap pori penduduk desa.
            Perlahan gelap semakin memekat, langitpun tak tahan lagi membendung linagan air matanya yang telah menggumpal sejak tadi. Mengumpul menjadi butiran kristal air, perlahan jatuh menghujam bumi. Pengappun berangsur hilang, menyisakan aura dingin menyelimuti pedesaan.

Warung Ronde
Begitulah bunyi tilisan jawa kuno yang terpampang di kayu jati berukuran 2x1 depan warung pak Karto.
            Udara yang semakin dingin dengan rintik hujan yang makin mengerap. Menjadikan warung ronde pak Karto ramai dikunjungi.
            Selalu begitu, setiap hujan membasahi bumi, kebanyakan penduduk desa mencari secangkir wedang ronde untuk mencairkan aliran darah yang membeku oleh aura dingin.
“ wakakakakak…. ” gelak menggelegar mewarnai malam itu. Hal yang biasa, ketika penduduk saling berkumpul pasti ada canda tawa antar mereka. Membicarakan keanehan-keanehan yang terjadi di desa, hingga terpingkal-pingkal tak sadarkan diri.
***
            Malam semakin senyap. Rintik hujan tak lagi terdengar. Perbincangan penduduk kini semakin serius. Tak lagi bercanda tawa tentang keanehan yang terjadi di desa, tak juga banyolan-banyolan kuno yang membuat mereka terkekeh.
            Kini benar-benar hening, hanya ada satu komando sementara yang lainnya mengiyakan. Bahkan tak terdengar lagi celotehan burung di antara mereka. Diam penuh antusias yang mereka kerjakan.
            “ bapak-bapak, tahukah kejanggalan yang sedang merundung kraton ?”. ucap pak karto memulai pembicaraan.
 “ kejanggalan?”. Sahut warga lain penuh Tanya.
 “iya kejanggalan ”. jawab pendek memotong.
            Kali ini seluruh warga dirundung pertanyan besar di benaknya. Memaksa fikirannya mengingat-ingat kejadian yang tengah merundung keluarga kraton. Masuk kedalam lorong teramat gelap sembari clingak-clinguk meniti seberkas cahaya. Namun sia-sia, semakin jauh melangkah meniti cahaya. Kegelapan semakin merajalela. Seluruh warga benar-benar tak mengerti akan kejanggalan yang dimaksud.
            “ Kejanggalan yang bagaimana pak Karto, perasaan Raden Soseno selalu berbuat adil pada warga. Beliau juga santun terhadap janda-janda miskin beranak banyak ”.
“ Kalau masalah kebaikan raden Soseno tak usah diragukan lagi bapak-bapak. Semua orang juga akan mengerti tentang hal itu ”. papar pak Karto meyakinkan.
“ Trus kejanggalan yang bagaimana yang pak karto maksud?”. Potong seorang warga.
Piye to bapak-bapak ini kok nggak tanggap-tanggap”.
“ Gimana mau tanggap to pak karto wong permasalahannya aja belum ketemu”. Jawab pendek seorang warga sambil menyeruput wedang rondenya.
            “ Lha dala….!!! Gini lho bapak-bapak, tahukan neng Naysila putrinya raden soseno. Coba bayangkan berapa hayo umurnya? Belum nikah-nikah juga. Bukannya itu sebuah kejanggalan? Masak putrinya orang kraton jadi perawan tua, yo memalukan !”. dengan nada serius pak Karto menjelaskan kepada para penduduk.
            “ OOO…masalah itu to …..benar juga pak Karto…!!”. Jawab serempak warga.
“ jangan-jangan neng Naysila mau dinikahi sendiri oleh raden Soseno”. Sambung salah satu warga.
” Wah kalau gitu nggak bisa dibiarin, bisa-bisa kita semua menaggung akibatnya juga!. Kita nggak bisa tinggal diam ”. celetuk warga lain membumbui.
***
            Bangunan megah bercorak budha berdiri kokoh menopang kejamnya cuaca. Bangunan itu telah lama berdiri. Lebih lama dari usia penghuninya sekarang. Bangunan indah yang menyimpan beribu cerita dimasa lalu.
            Di sudut depan, tumbuh pahon besar nan rindang. Memberi kesejukan setiap insan yang berteduh di bawahnya. Pohon rindang itu yang telah menyasikan beribu cerita dari masa lalu hingga kini. Mulai dari cerita tentang awal berdirinya kerajaan ini, cerita tentang putri raja yang gandrung dengan patih kerajaan, kisah kejamnya pembantaian para pembrontak, hingga kisah penobatan raja-raja dari waktu ke waktu dan masih banyak cerita lain yang di saksikan pohon rindang itu. Mungkin takkan habis semalam jika mendengar seluluh kisah yang di saksikannya.
            Ruang tengah yang tertata rapi, dengan kursi kebesaran ditengahnya, menggambarkan kekuasaan setiap raja yang bertahta.tampak raden Soseno kini yang duduk bertahta di kursi kebasaran itu. Raden soseno adalah generasi ke-enam , jadi beliau orang yang ke-enam yang menduduki kursi kebesaran itu.seluruhnya tunduk terhadap beliau seluruh kata-kata yang keluar dari bibirnya menjadi tuntunan bagi setiap rakyatnya.
***
            Pagi yang indah, lebih indah dari hari biasanya. Dimana hari ini adalah hari ulang tahun Naysila Larasati yang ke 23.pesta besar pun di gelar di keraton. Beratus undangan dari kerajaan tetangga hadir dalam pesta itu. Seluruh pembesar-pembesar kerajaan tampil dengan busana kebesarannya masing-masing. Acarapun berlangsung dengan seksama. Berjuta jenis buah-buahan menghiasi gedung tengah kraton. Bermacam hidangan telah tersedia di meja panjang, seluruh undangan nampak asyik menyantap berbagai hidangan yang telah tersedia. Sambil bercanda membicarakan situasi kerajaannya masing-masing.
            Penghujung acara nan tragis, kecerian menjadi sebuah penodaan terhadap kerajaan raden Soseno. Beribu warga hadir ditengah-tengah pesta itu, bahkan plajurit kerajaan pun tak mampu membendungnya.
            “ Wahai raden soseno yang selalu kita patuhi, kami ingin kejelasan tentang putrimu yang tak kunjung kau nikahkan, apa engkau akan menodai tanah ini. Dengan membuat aib baru? ” pekik salah seorang warga dari pendopo depan kerajaan.
            Mendengar sura lantang itu, raden soseno pun beranjak dari tempat dimana para punggawa kerajaan sedang asyik bergurau. Berlarilah ia menuju pendopo depan dengan sedikit malu bersemayam di raut muka nan dalam.
            “ wahai rakyatku, ada apa gerangan melabrak kraton?”.
“ raden soseno, tak usahlah berlagak tidak mengerti, semuanya sudah nampak jelas. Engakau ingin menorehkan petaka, kutukan yang tak kunjung berakhir pada negerimu? ”.potong warga dengan nada sengau.
            “ apa yang bapak-bapak maksudkan? Saya tindak mengerti! Mbok dibicarakan baik-baik kan bisa! ”.
 “ ya sudah kalau begitu, tolong urus putrimu yang telah menjadi perawan tua, kalau tidak bisa mengurusnya usir saja dari sini, supaya petaka tidak merundung kerajaan!”. Teriak salah satu warga dengan emosinya nan membara.
***

            Desis kesenangan tak terdengar lagi, menyisakan kebingungan antar keluarga kraton. Tamu undangan tak lagi ada, mereka sudah meninggalkan kraton sejak kejadian tadi. Nampaknya mereka agak sedikit kecewa dengan adanya keributan tadi. Canda tawa di meja makan nan panjang tak terdengar lagi, hanya tinggal piring-piring kotor mewarnai ruang itu.
            “ Naysila putriku, engkau sudah dewasa, usiamu telah mencapai 23 tahun. Sangat tidak wajar jika engkau tak ingin mendapatkan seorang pendamping . Bukannya engaku juga tahu bahwa semua warga telah protes pada romo. Sejak dulu kerajaan kita telah mempercayai bahwa seorang yang tak kunjung menikah hingga usiannya menua, maka bencana akan datang pada kerajaan ini, bukannya engkau juga tahu nduk?”.
            “ Naysila tahu romo, tapi naysila belum mau menikah. Naysila belum siap membangun bahtera rumah tangga!”. Jawab naysila membela diri.
 “ tapi nduk, jika engkau tak segera menikah romo juga tidak bisa mempertahankanmu tinggal disini, romo juga punya rakyat, yang selalu menuntut untuk segera menikahkan mu.sudah gini saja, mau nggak mau kamu besok romo kenalkan dengan putra teman romo dan kamu harus menikah dengannya”. Tutur raden soseno memberi saran.
            “ Nyuwun ngapunten sakderenge romo, naysila tidak mau dijodohkan dan nysila belum siap untuk menikah, jikalau pun naysila harus angkat kaki dari kraton ini, naysila siap romo”.kembali naysila membela dirinya.
            “ sejak kapan kamu berani membantah dawuh romo. Jika kamu sudah tak mau di urus lagi silahkan kamu angkat kaki dari kraton ini, dan jangan pernah kembali sebelum kamu membawa calon suami kepada romo!”. Kata-kata pedas pun dilontarkan raden soseno kepada naysila.
            “ baik romo, sekarang juga naysila akan pergi. Biyung maafkan naysila, naysila harus pergi ketimbang hidup dalam sebuah kepercayaan perawan tua akan menimbulkan petaka. Do’akan naysila biyung!”.
“ Biyung bisa mengerti nduk, pergilah biyung akan selalu mendo’akanmu”.
***
            Keputusan naysila benar-benar telah bulat. Dia benar-benar meninggalkan kraton. Dengan berbekalkan secarik baju yang dipakainya dia meniti kehidupan baru.
            Waktu pun terus berlalu, menyisakan setitik cerita yang amat nista untuk dikenang. kini naysila duduk bersimpuh di lantai atas candi. Naysila mengadukan seluruh isi hatinya pada Tuhan. Memekik kencang tentang segala ketidak adilan dalam dirinya, memaki-maki Tuhan seakan Tuhan tak pernah menyapa kehidupannya.
            Iseng pun dilakukan naysila, entah dapat bisikan apa dalam do’anya, tiba-tiba ia memasukkan tangannya kedalam stupa induk candi. Seketika itu naysilapun tersentak kaget ketika tangannya memegang sesuatu dari arah sebaliknya. Ketika ia melihat sisi sebelah stupa di jumpainya pangeran tampan yang tersenyum padannya.
            “ Ohh…My GOOD, inikah calon sumiku?”.
 “ woi..Nay……kamu dah gila ya, kasian tu cowok! Ngak dilepas-lepas tangannya. Suruh ovservasi malah ngelamun”. Gerutu lina sampil menyadarkan lamunan naysila.
“ ah…..lina menbuyarkan ovservasiku aja”. Omel naysila.
 “ ovservasi apanya nay….kamu tadi masukin tangan mu ke stupa itu eh malah ngalamun…..oh my good inikah suamiku, kasian tu cowok”. Celoteh lina menjelaskan.
“ cowok yang itu yang ku pegang tadi lin?. Aku dah dapat”. Senyum naysila sambil beranjak mendekati cowok yang di tunjuk lina”.
            “ dapat apanya? orang kamu belum ovservasi”. Teriak lina bertanya.
 “ dapat bahan cerita sekaligus calon suami”. Teriak naysila sembari tersenyum melambaikan tangan pada lina. (***)

Penulis : Mangun Kuncoro, lahir di Bengkulu, 09-09-”89, pengarang novel “ Sepasang Sayap Di Punggungmu ”, cerpen “ Al Qur’an Untuk Bunda ” Mendapat anugrah terbit di majalah Tebuireng, Cerpen “ Darah Juang ” mendapat anugrah terbit di majalah MOVE PMII Jombang, cerpen “ Duka Perawan Tua ” mendapat anugrah kompetisi cerpen PTUI, dan cerpen di atas salah satu cerpen yang bakal terbit dalam antologi realigi dalam berbudaya.

By : Andy MK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar