Jumat, Juni 24, 2011

KAULAH BINTANGKU

Walau malam tak berbintang. Aku akan selalu mencumbu, bermain dengan indahnya angan yang tak mungkin berpangkal dan berujung. Aku jua tak lagi berharap munculnya bintang- gemintang setiap malamnya, karena ia telah tergantikan oleh sosokmu. Keindahanmu adalah rasa yang mengalir dalam darahku, memercikkan kobaran api yang selalu membuatku tegar melangkah meski kaki ini gemetar.

Aku berniat untuk berdiri sejenak, meluruskan otot kaki yang terasa kejang, serasa tersetrum aliran listrik tegangan tinggi. Ku lepas genggaman tangan Mily, berangsur ku tegak. Mengerak-gerakkan betis agar terasa lebih nyaman.
Aku teringat sesuatu dalam hidupku, sebuah kisah yang berangsur menjadi sebuah peristiwa. Di tempat ini, lokasi yang sama dengan suasana yang sama.
Kala itu, hatiku sedang gemelut. Di satu sisi aku merasa sedih yang mendalam, di sisi lain aku juga merasa gembira atas ucapan Mily: Menenangkan gemuruh resahku.
Pekak rasanya mendengarkannya, namun terasa damai, teramat damai malah. Bukan halnya dengingan lonceng pembawa Mu’jizat, juga bukan deruan terompet komando perang. Tapi, sebagian kecil dari itu semua.
Mendongokku atas langit nan luas, terlihat pekat nampaknya. Awan menggumpal tak beraturan, menjadi sebuah tabir akan gemerlap bintang-gemintang. Menyisakan sepotong kebingungan dalam relung jiwaku.
Kembali ku gerakkan betis ini, agar terasa lebih nyaman lagi. Ku tarik nafas dalam-dalam, menghilangkan sedikit denging memekakkan. Di dak kapal ini, lokasi yang sama dengan suasana yang sama pula.
Kala itu, Mily berpamitan padaku untuk pergi jauh. Entah sampai kapan; entah seberapa lama; aku sendiri tak tahu tepatnya. Yang jelas kisah cinta kita akan terhalang oleh ruang dan waktu. Mungkin takkan ku temukan lagi senyum menawan dari bibir Mily, tatapan mata bulatnya yang membawa kedamain.
Hati ku hancur kala itu. seakan aku menimang sebuah kisah tentang kematian, berkabung atas kisah cinta yang sunyi. Terlalu banyak kata yang tersendat di lidahku, hatiku seakan protes akan perpisahan ini: kenapa harus ada perpisahan di saat hati kami tumbuh bunga-bunga cinta; kenapa kemarau mendadak tiba dikala biji-biji mulai tumbuh?.
Ah...aku tak mau berfikir lebih, semua ini sudah suratan fikirku. Sekeras apapun aku menentang, Mily akan tetap pergi meninggalkanku; om Rizal akan tetap pindah tugas ke Medan.
“ Sayang, tak usah larut dengan kesedihan, kita akan selalu merindu. Betapapun jarak diantara kita: kita masih menjejak bumi yang sama; memandang langit yang sama pula, pada hakikatnya kita selalu dekat.
Sayang, selepas kepergianku nanti, jika tudung raksasa mulai mengelam, bintang-gemintang menghiasi tudung itu. keluarlah, karena kita akan memandang tudung yang sama, memandang bintang-gemintang yang sama. Dan jika bintang-gemintang mulai berjatuhan, tengadahkan tanganmu seraya meminta ke padaNya: Wahai engkau yang mencipta bintang-gemintang, menurunkan rahmat di selah berjatuhannya. Aku memohon kepadamu: tutuplah jendela kecil di hati kami, Ari dan Mily kalau-kalau angin curiga berhembus terlalu kencang malam ini. Selimutilah hati kami, Ari dan Mily dengan selimut kepercayaan teramat tebal. Hibahkanlah pula pada kami, Ari dan Mily sebuah taman kecil yang indah di surgaMu sebagai wujud keabadian kisah cinta.” Ucap Mily meneduhkan.
Aku memilih untuk terdiam, membiarkan gemelut menguasai seluruh jiwa ini. Terlalu sulit bagiku untuk menerima sebuah perpisahan ini, walau Mily berusaha meyakinkan akan keabadian kisah kita.
“ Sayang, aku jadi teringat tentang sebuah kisah pada novel karya Ihwal Bastian yang berjudul Di Satu Bintang Aku Menunggu, novel yang pernah kau berikan saat hari ulang tahunku setahun yang lalu:
Di ceritakan sebuah kisah cinta antara Arman dan Lia. Kisah yang amat memilukan, bahtera cinta yang dibangun bertahun-tahun harus terpisah karena peristiwa yang tak mereka inginkan, kapal laut yang mereka tumpangi berbulan madu tersapu gelombang. Arman selamat dari peristiwa itu, namun Lia tak diketemukan oleh Tim SAR. Data yang diperolehpun menyatakan bahwa Lia hilang pada peristiwa itu, tidak jelas masih hidupkah, atau mati. Bertahun-tahun Arman terpukul, menjalani hari-hari tanpa seorang Lia di sampingnya. Tapi Arman bukan orang yang pasrah, naluri cintanya terhadap Lia menjadikan yakin bahwa Lia masih hidup. Segala upaya dikerahkan untuk mengorek informasi tentang Lia. Hingga pada endingnya Arman menemukan Lia di sebuah Desa pesisir pantai. Berita pun mencuat ketika Lia diketemukan oleh Arman. Sebuah jumpa pers digelar oleh sejumlah stasiun Televisi swasta maupun Negri. Ketika Arman dihadapkan tentang pertanyaan mengenai keyakinannya, dengan santainya Arman menjawab: ‘Aku dan Lia pernah mengukir sebuah janji pada sebuah bintang di masa lalu, bahwa kita akan hidup dan mati bersama.’
Perpisahan yang tidak diinginkanpun mereka dapat berjumpa kembali sayang, mengapa kita tidak. Jadi jangan kawatir ya, aku akan selalu mencintaimu.” Senyum Mily meyakinkanku.
Akupun hanya mengaguk mengiyakan. Keyakinan yang diberikan Mily menghilangkan gemelut dalam jiwa. Akupun memeluk Mily dengan erat aku takut jika suatu saat nanti aku tak bisa memeluknya kembali setelah ini.
Kembali ku gerakkan betis ini, agar terasa lebih nyaman lagi. Ku tarik nafas dalam-dalam, menanamkan sebuah keyakinan dalam hatiku. Membuang rasa yang tidak-tidak atas segala kemungkinan selepas ini.
Selepas kepergian Mily aku selalu merindukan tudung raksasa yang mengelam dengan bintang-gemintang yang berhamburan menghiasi. Bahkan akan akan selalu menghitung beribu bintang-gemintang yang berjatuhan. Seperti tegas Mily: aku takkan lupa membuat tengadah tangan yang tak pantas ini sembari mengucap seperti yang telah Mily katakan. Aku tak tahu apakah Mily juga begitu, rasa cintaku yang mendalam pada Mily membuat kabur pertanyaan-pertanyaan murahan itu.
Kembali ku gerakkan betis ini, agar terasa lebih nyaman lagi. Ku tarik nafas dalam-dalam. Di dak kapal ini, lokasi yang sama dengan suasana yang sama pula.
Kisah duapuluh tahun yang lalu terulang kembali, hanya bedanya menjadi sebuah peristiwa yang berbungkus keindahan.
Tak terasa bintang-gemintang mulai berjatuhan. Aku memandangi Mily yang sedang duduk di sebelah kaki kananku.
“ Selama ini sayang nggak pernah tengadahkan tangan sewaktu bintang gemintang mulai berjatuahan.” Ucapku pada Mily.
“ Sapa bilang...”
“ La itu buktinya .”
“ Sayang juga.” Tuduh Mily berbalik padaku.
Sejenak kami terdiam dan saling pandang, dengan aura curiga di antara kami.
“ Karena Kaulah Bintangku.” kata itu serempak keluar dari bibir kami, Aku dan Mily dibarengi senyum tipis rona kebahagiaan.
Karya : Andi Mangun Kuncoro
Jombang, April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar